Oleh : Moh. Humaidi*
Kebahagian adalah obsesi semua orang tanpa terkecuali, atas dasar bahagia banyak yang mengambil jalan pintas, mengambil hak orang lain, terjadilah korupsi, kolusi dan nepotisme baik mulai akar bawah sampai tingkat atas. Pun tidak sedikit yang menghalalkan berbagai cara, alih-alih untuk mendapatkan rasa bahagia, tapi sebaliknya yang ada rasa menyesal dan sengsara, karena diantara mereka berakhir di penjara. Dari sini banyak yang mengsalah artikan makna bahagia, sehingga kemudian terjadi aksi pencurian, perampokan, asusila dan lain sebagainya bahkan lebih parah lagi seorang anak tega memusuhi dan melaporkan orang tuanya hanya untuk mendapatkan kebahagiaan, bahkan ada yang lebih parah dari itu, na'udzubillah min dzaalik.
Kebahagiaan ini menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang, ada yang mengukur dengan banyaknya harta, tahta dan popularitas. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah benar dengan banyaknya harta, menumpuk dan menyimpannya, berupa rumah besar, megah, mobil mewah deposito melimpah, orang itu akan bahagia?. Ataukah benar orang yang jabatannya tinggi, popularitasnya menyebar kemana-mana, seseorang sudah dikatakan meraup kebahagiaan?
Jawabannya adalah tidak !.
Harta, Membahagiakan?
Ditengah tengah sembarautnya perekonomian negara yang hampir mengalami iflasi sebab mewabahnya pandemi, yang hingga detik ini masih transisi new normal (tatanan kehidupan baru), jantung peralihan ekonomi mulai berdetak setelah kurang lebih tiga bulan berlalu mengalami sesak. Sekarang mulai ada angin segar dengan diberlakukannya new normal.
Sebelum dan sesudah pandemi ini, harta pasti menjadi buruan semua orang tanpa mengenal usia. Banting tulang bekerja, hingga tidak mengenal siang dan malam sampai berlembur, panggilan Allah tidak dihiraukan, lebih parah lagi orang tua jadi musuh sengketa warisan keluarga.
Mereka lupa, sumber kebahagiaan itu di mana dan seperti apa cara mengaprisiasikannya?. Kalaulah harta menjadi tolok ukur seseorang dikatakan bahagia, maka tentu Qorun itu lebih berhak menyandang orang yang paling bahagia, nyatanya Qorun dan hartnya Allah tenggelamkan kedasar bumi. Sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya : “Maka Kami benamkanlah Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya),” (Q.S. Al-Qashash, ayat 81.)
Ibnu Asyur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir menjelaskan bahwa kisah ini berawal dari akibat orang yang terlena akan gemerlapan harta yang terus bertambah, bahkan kekayaannya ini tak terhitung banyaknya, sampai kunci gudang untuk menyimpan kekayaannya saja tak mampu dibawa oleh satu orang saja, melaikan puluhan orang yang kekar badannya baru mampu mengangkat kuncinya. Apakah Qorun bahagia dengan apa yang didapatkan? tentu tidak, karena dia tertelan di perut bumi bersama kepongahannya.
Jabatan, Membahagiakan?
Jabatan menjadi buruan banyak orang, mulai yang punya harta sampai yang menderita lilitan, karena banyak hutang yang belum terbayar. Mereka berkorban pinjam uang untuk mendapatkan jabatan, karena yang mereka inginkan adalah kebahagiaan, mereka mengejar tahta/ jabatan sebagai tolok ukur sumber kebahagiaan, mereka mulai berangan-angan, kalau seandainya ia punya jabatan tentu kesenangan akan didapatkan.
Ini berbanding terbalik dengan konsep yang sesungguhnya, sebab kalau jabatan dan kekuasaan itu menjadi sumber kebahagiaan, tentu Fir'un dan Namrud la'natullahi 'alaihima lebih merasan nikmatnya bahagia, karena mereka adalah raja yang sama-sama berkuasa, tetapi Fir'un berakhir dengan sengsara, dia tenggelam di laut merah. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya :
ثمّ اغرقناالآخرين
Artinya: Kemudian Kami tenggelamkan golongan yang lain (Firaun dan pasukannya) (Q.S Thoha :77).
Adapun raja Namrud dia mati sengsara setelah mengalami sakit tahunan disebabkan hidungnya dimasuki nyamuk yang cukup kecil sehingga berkali-kali ia harus benturkan kepalanya agar rasa sakit yang ia derita berhenti, dan ia lalui bertahun-tahun hingga akhirnya dia mati.
Allah tegaskan dalam firman-Nya :
Artinya, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath : ayat 4).
Pada ayat yang lain Allah memberi perumpamaan tentara kecil berupa nyamuk ini, yang artinya : “Sesunggughnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.(QS. Al-Baqarah, ayat 26).
Disebutkan dalam sebuah keterangan bahwa Namrud mengalami rasa sakit akibat serangan nyamuk ini, kurang lebih 400 tahun. Bisa dibayangkan, bagaimana tersiksanya dia? Harta melimpah, kekuasaan kuat dan luas tidak terkalahkan, tapi ia mengalami penyakit yang cukup menguras energi, Allah hinakan dia dengan makhluk kecilnya berupa nyamuk !.
Apakah mereka masih layak dikata gorikan bahagia?, tentu tidak!. Karena mereka mengalami kegelisahan, kesakitan yang tak terperihkan.
Popularitas, Membahagiakan?
Menjadi hal yang lumrah manakala popularitas menjadi sumber kebahagiaan, karena memang pada dasarnya manusia mau dikenal, siapa dia? dari mana asalnya? apa gelar dan titelnya?, bahkan terkadang tanpa diminta mereka dengan senang hati menyebutkan kemampuan dan prestasinya. Iya.., karena mereka ingin dikenal.
Apakah benar dengan dikenal dan menjadi terkenal dengan deretan unjuk kebolehannya, mulai prestasi akademik, artis senetron, dengan artis focalisnya dan bahkan berbagai macam deretan pristasi yang disabetnya sehingga mendapatkan kekayaan melimpah, penggemar ada di mana-mana. Apakah mereka menganggap itu sumber kebahagiaan? Tentu tidak.! Karena kalau populeritas itu menjadi sumber kebahagiaan, maka tentu Michacel Jackson penyanyi terkenal di industri musik USA saat itu lebih berhak mendapatkan predikat orang yang bahagia, nyatanya dia meninggal setelah minum obat penenang hingga overdosis.
Jika Harta, Tahta, Dan Popularitas itu bukan sumber kebahagiaan!, lalu apa bentuk kebehagiaan yang sesungguhnya?
Sya'ir 'arab menyebutkan :
ولست ارا اسعدة جمع مال ولكن التّقوى لهي السّعيد
Artinya : Tidaklah kebahagiaan itu dengan menumpuk harta, tapi kebahagian itu adalah dengan Taqwa.
Ditegaskan oleh imam Ghazali dalam karangan monomintalnya, kitab Ihya' 'Ulumuddin, bahwa puncak bahagia dalam tradisi ilmu tasowwuf adalah Taqwa, karena pada hakekatnya kebahagiaan itu adalah manifestasi dari mengingat Allah SWT. Dan agar dapat kemuliaan di sisi-Nya ialah sekali lagi dengan taqwa.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” [Al-Hujurât: 13]
Manusia hanyalah bernilai (bahagia) dan mulia di sisi Allah dengan ketakwaannya, bukan dengan pangkat dan jabatan, nama dan popularitas, dan bukan pula dengan kekuasaan dan harta.
Semoga bisa menjadi intropeksi diri kita dalam meraih ridha-Nya.[]
* Pendidik YPI Al Fattah Batu, Da'i Dan Ketua Pengkaderan Pemuda Hidayatullah Jawa Timur.
Komentar
Posting Komentar