Oleh : Moh. Homaidi*
Surabaya, LTC suramadu hampir usai, selepas sholat subuh berjamaah semua peserta kembali ke aula guna dzikir subuh dan akan menyerap tausyiah dari orang tua kita, salah satu perintis Hidayatullah Surabaya.
Beliau adalah Drs. Aeb Syafuddin, beliau kelahiran Bandung.
Selesai peserta berdzikir, acara di lanjutkan dengan tausyiah, ustadz Aeb membuka dengan bahasa yang halus, dan salah satu ciri has beliaunya, luwes dan santai.
Beliau membuka tausyiahnya dengan bercerita, sebelum dan saat di Hidayatullah.
Sebelum gabung dengan Hidayatullah, Beliau pernah kuliah di ITB dan mendapatkan beasiswa, saat itu Rp.190.000.
Pada Tahun 1992 beliau mulai bergabung dengan Hidayatullah Bandung, selama tiga tahun ditempa dan diarahkan, sehingga beliau siap tugas ke daerah. Intruksi keluar Beliau di tugaskan ke kota surabaya, tepatnya pada tahun 1995, pada saat yang sama istri beliau hamil, tapi keadaan tersebut tidak membuat ustadz kelahiran bandung ini surut dalam menyambut tugas.
Perjalananpun di tempuh Dan kekayaan yang di miliki satu-satunya saat itu hanya buku, ketika sampai di surabaya beliau harus mencari tempat tinggal, suasana tersebut tidak membuat beliau sedih tapi tambah malah tambah semangat. Walau tidur beralaskan kardus, dan pakaian menjadi bantal justru menumbuhkan semangat peran dan fungsi sebagai hamba yang butuh kepada Allah Swt, uangkapnya.
Dari cerita ini beliau berhap terbentuk perwujudan keyakinan, bahwa ketika Allah menjadi tolok ukur dalam berjuang yang lain kecil dan mudah. Maka otomatis perasaan ini tidak bisa dibendung untuk selalu berjuang dan siap bertugas.
Bekerja apa adanya, tapi pengaruhnya luar biasa, sepirit perjuangannya muncul. Ada rasa ingin mempengaruhi orang lain agar lebih baik.
Beliau mengenang perjalanannya yang cukup hiroik.
Suatu ketika beliau pernah bawa sepeda motor tanpa surat kendaraan, memang tidak ada suratnya karena motor yang beliau pakai adalah motor odong-odong. Dia bergumam jika ada polisi, nanti sekalian tak kasikan motornya.
Tiba-tiba di depan ada polisi yang siap menghadang seraya menyapa "selamat siang pak, mana surat-suratnya?" beliau menjawab "tidak ada pak" justru polisinya bingung dan bertanya ''bapak ini dari mana sih?" ia menjawab "dari panti pak" akhirnya dipersilahkan terus jalan, eh malah si polisi tersebut siap jadi donatur. Inilah kekuatan keyakinan yang dimiliki dan komitmen yang tinggi, pesannya kepada semua peserta.
Orang yang memperjuangkan agama itu akan memberi keberkahan kepada diri dan orang lain.
Bentuk keberkahannya adalah, pertama, ia mempunyai keberanian dalam melakukan sesuatu. Kedua, ia merasakan kemampuan dalam dirinya untuk melakukan kebaikan. Ust Aeb menutup ceramahnya.
Untuk memupuk keberkahan itu, perlu ada olah raga bersama, hal ini dilakukan oleh peserta dan pameteri LTC rayon surabaya di lapangan pesantren Hidayatullah surabaya.
Rasa
Tidak sedikit seseorang mampu menikmati pekerjaan yang dia emban, walau pekerjaan itu menjanjikan kehormatan dan materi lebih, tapi ia masih merasa gelisah dan resah.
Kenapa itu terjadi?
Ia, karena seseorang itu belum bisa menikmati pekerjaan yang sudah sekian tahun dia selami. Tidak mudah mendapatkan rasa itu, butuh perjuangan lebih. Diantara bagaimana para junior merasakan apa yang dialami seniornya :
Pertama, Bangun komunikasi yang harmonis dengan para senior, orang yang dianggap punya pengalaman dan mengerti proses perintisanya.
Dengan komunikasi inilah akan menemukan titik terang pola dan cara mengatasi masalah dan medapatkan maslahah
Kedua, Hadirkan mereka dalam sebuah pertemuan, dipersilahkan agar bercerita apa yang pernah dialami saat perintisan.
Sambung rasa ini akan menumbuhkan karakter yang mampu menjaga amanah dan merawatnya, dan hal ini termasuk system ilahi. Mengedepankan adab jauh lebih bijak dari pada kepentingan semu, yaitu yang muda menghormati yang lebih tua. Nabi gambarkan dalam haditsnya :
Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitabnya, bahwasanya Abdurahman bin Sahl serta Muhiyisoh dan Huwayisoh pergi menemui Nabi Shallahu Alaihi wa sallam, kemudian setelah sampai ke pada Nabi, berbicaralah yang paling muda diantara mereka yaitu Abdurahman bin Sahl, maka Nabi Muhammad Shallahu Alahi wa Sallam memotong perkataanya seraya berkata, “yang tua dulu yang berbicara”, makasudnya adalah Muhiyisoh dan Huwayisoh.
Adab tersebut syarat makna, diantaranya, utamakan orang yang lebih tua dalam hal apapun kecuali ibadah mahda dan ini juga akan menjadi wasilah kembalinya khitthoh organisasi, sebagai manivestasi iman dalam kehidupan bermu'amalah, semoga bermanfa'at. []
* Pegiat Pendidikan dan Kabid Pengkaderan Pemhida Jatim
Komentar
Posting Komentar