Oleh : Moh. Homaidi*
Setiap ibadah dipastikan akan berbekas, baik kepada pelaku dan lingkungannya. Bekas kepada cara pandang, ucap, prilaku, dan tindakan, hingga sampai kepada keputusannya.
Contoh konkritnya Sholat. Bagi orang yang senantiasa menjaga dan melestarikannya, maka akan selamat dari perbuatan keji dan mungkar. Begitupula sebaliknya, bagi yang meninggalkan, akan mendapati dirinya senang terhadap perbuatan keji dan mungkar. Allah tegaskan dalam firman-Nya.
Artinya : "Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-Angkabut : 45)
Ayat ini mengingatkan kita, bahwa; betapa dahsyatnya pengaruh sholat dalam hidup bermasyarakat, berintraksi, dan bersosial.
Hanya saja, bagaimana dengan orang yang terkesan ahli ibadah, aktif sholat berjama'ah, bahkan tidak segan-segan mengingatkan saudaranya yang tidak sholat berjama'ah, tidak sedikit orang terpana akan nasehat yang tertuang.
Tapi di kacamata khalayak, khususnya orang-orang yang pernah berintraksi dengannya merasa tidak seimbang, antara semangat ibadah, dan intraksi positif sosialnya. Antara ucapan dan prilakunya.
Pertanyaannya, adakah yang salah dalam sudut pandang ini? Tentu jawabannya, tidak. Karena ibadah itu berbanding lurus dengan perbuatannya. Lalu bagaimana cara mendiagnosanya?
Pertama, niat. Setiap perbuatan didahului niat. Kalau perbuatan diawali dengan niat yang benar maka dampak perbuatannya akan baik.
Kedua, tulus. Ikhlas menjalankan ibadah, tidak hanya menggugurkan kewajiban. Tidak ada rasa beban, tapi lebih dari itu menjadi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, tidak riya'. Kalau ibadah diiringi dengan rasa riya', maka ibadah tidak akan tenang, karena hatinya gelisah. Ada rindu ingin dilihat, didengar, sehingga muncul pujian. Maka barang tentu iblis punya celah menggodanya.
Seyogyanya ibadah itu urusan jiwa dengan robnya. Ketenangannya dalam berucap dan bersikap adalah cermin kesahduan dirinya dengan sang Kholiq.[]
* Salah satu Pendidik di SD Integral Al-Fattah Fullday School-Kota Batu.
Komentar
Posting Komentar