By. : Moh. Homaidi*
Antara pujian dan hinaan cukup tipis jaraknya. Terkadang apa yang kita anggap baik, tapi menurut kebanyakan orang kurang baik.
Justru dianggap melawan adat istiadat atau kebiasaan orang pada umumnya. Taruhlah adat istiadat pernikahan ala Daerah, mulai penentuan tanggal, hari, dan resepsi kental akan mistik dan kepercayaan yang tidak beralasan.
Dari peristiwa ini tidak sedikit keluarga yang berantakan, karena banyak hutang yang harus dibayar pasca acara.
Padahal dalam Islam cukup sederhana dalam sebuah pernikahan, yang penting syarat lengkap.
Kedua mempelai ada, wali dari dari mempelai wanita, dilengkapi saksi dari pihak laki dan wanita, mahar yang cukup sesuai kesepakatan. Ditutup dengan walimah yang sederhana, sudah selesai.
Tapi jika masuk ke ranah lingkungan dan wilayah, syarat dengan kebiasaan adat, mas kawin tinggi akhirnya si mempelai laki mundur alon-alon.
Ini membuat derajat seorang laki-laki hanya bernilai jika dia berduit. Jika tidak, maka dia kesulitan menempuh sunnah Nabi Muhammad SAW.
Banyak anak perempuan yang benci kepada kedua orang tuanya, saat mereka berdua siap menikah, tapi terhalang adat.
Ikutlah si perempuan tersebut, nikah sesuai keinginan orang tua (sebab harta), yang terjadi pernikahan masih seumur jagung, rumah tangganya tumbang.
Kenapa hal ini masih terjadi di Masyarakat? Karena mereka tidak tahu sehingga anak dijadikan tolok ukur kekayaan, dan menjadi barang yang dijual belikan.
Bahkan terkadang anak perempuan menjadi tameng untuk kekayaan dan pelunas hutang.
Sempat penulis ditawari saat menjadi Guru Tugas dari sebuah Pesantren. Bapak dari permpuan tersebut, titip pesan "sampaikan ke Ustadz, jika Ustadz ingin melamar anak saya, bawa dulu uang sebesar 30-40 jt-an."
Kejadian tersebut terjadi pada tahun 2005, mendengar titipan pesan tersebut, saya menguatkan hati masak sehina itu seorang perempuan, kemuliaannya hanya diukur dengan duit.
Padahal tugas seorang suami lebih dari itu, harus melindungi, menafkahi lahir dan bathin. Menyiapkan sandang pangannya.
Sayapun menguatkan diri, kalau begitu lebih baik saya mundur, karena sedari awal sudah tidak sehat, karena bisa dipastikan akan terus ada ikut campur martua dalam urusan rumah tangga.
Niat baikpun nyusut, tidak jadi dilanjutkan. Akhirnya yang melanjutkan teman saya. Apa yang terjadi setelah itu? Menikahlah pasangan ini, sampai sekarang tidak betah hidup di rumahnya.
Hidupnya di Negeri orang, mereka berdua menjadi TKI. Mengais rezeki di sana, bahkan disinyalir sampai sekarang belum mendapat keturunan.
Saya berharap semoga mereka berdu dianugrahi keturunan, sehingga punya harapan kelak mendapat do'a dari anak sholeh/ah (Waladun Sholeh Yad'u lah)
Belajarlah..!
Gemarlah dalam belajar dan membaca, karena dengan belajar tenatang linkungan sosial dan membaca buku-buku keagamaan, kita akan dijauhi dari praduga dan keragu-raguan.
Islam itu luas, tidak sempit. Apalagi hidup ini hanya diukur dengan dunia. Padahal ada hal yang lebih besar daripada itu. Ialah hubbul akhirat (cinta akhirat).
Anak itu bukan hanya aset dunia, tapi juga akhirat. Kelak mereka yang akan merawat orang tua saat mendapati keduanya usia senja.
Semoga kita senantiasa mendapatkan kemudahan dalam belajar dari lingkungan dan membaca sehingga mendapat pengertian yang lebih, dan mampu mengamalkan.
Berharap terhindar dari kebinasaan sebab ketidaktahuan, dan kerakusan nafsu dunia.[]
*Aktivis Sosial dan Pendidik
Komentar
Posting Komentar