By. : Moh. Homaidi*
Setiap kita pasti mendapati situasi yang menuntut diri segera bersikap dan memutuskan.
Waspadalah, disini banyak orang yang terjebak, alih-alih menyelesaikan persoalan malah menambah runyam.
Taruhlah, saat pihak ketiga bercerita tentang kejelekan temannya. Seraya berkata "hati-hati ya, dia orangnya caper, bahkan bisa jadi kamu akan menjadi korban fitnah berikutnya".
Mendengar cerita miring yang tidak jelas kebenarannya, jangan terburu-buru bersikap dan menyimpulkan. Semua orang berhak punya kesempatan memperbaiki diri.
Apalagi sampai main hakim sendiri dengan bersikap menyalahkan dan menuduh, justru hal ini menunjukkan sikap tercela.
Maka, tenangkan diri, berilah kesempatan dia bekerja dan berkarya. Jika dalam prosesnya baik, is okey berilah dia apresiasi.
Tapi apabila dalam perjalanannya ada temuan dan bukti, arahkan dan berilah ia peringatan. Baru setelah itu, segeralah bersikap agar semuanya bisa menerima dan terkesan bijak.
Netral, Dan Berpihak Kepada Kebenaran
Seorang pemimpin yang bijak, ia mampu bersikap netral tidak condong ke arah sebelahnya, tapi mampu berdiri tegak diantara dua belah pihak.
Jika dirinya masuk kepada lingkaran tersebut, ia pun mampu membuktikan kebenarannya, jika tidak bersiaplah mengalah.
Mengutip buku Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib oleh Mustafa Murrad dikisahkan suatu hari, Amirul Mukminin melihat baju zirahnya, yang telah lama hilang, ada pada seorang Nasrani. la tidak tahu, bagaimana baju perangnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu.
Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh mengatakan bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, Ali ibn Abu Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan.
Di pengadilan, Ali bin Abi Thalib bertemu Qadi atau Khadi yakni seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.
Khadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki Nasrani itu, "Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?"
Nasrani itu berkata, "Baju zirah ini milikku. Amirul Mukminin tidak berhak menuduhku."
Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?"
Ali ra. tertawa dan berkata, "Ya, engkau benar Syarih, aku tidak punya bukti apa-apa."
"Atau, adakah saksi yang mendukung tuduhanmu?"
"Ada, anakku al-Hasan."
"la tidak dapat menjadi saksi bagimu."
"Bukankah kau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bahwa "al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin pemuda ahli surga?"
"Meski begitu, tetap saja ia tidak berhak menjadi saksi untukmu."
Akhirnya Syarih memutuskan bahwa baju zirah itu milik si Nasrani.
Laki-laki Nasrani itu mengambil baju zirah itu, lalu berjalan pulang ke rumahnya. Namun, belum lagi jauh, ia kembali menemui keduanya dan berkata, "Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi.
Amirul Mukminin membawaku kepada hakim yang diangkat olehnya dan ternyata hakimnya itu menetapkan keputusan yang memberatkannya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Baju zirah ini, demi Allah, ini adalah baju zirahmu, wahai Amirul Mukminin. Aku mengikuti pasukan dan saat itu kau pergi ke Shiffin, dan aku mengambil beberapa barang dari kendaraanmu."
Ali berkata, "Karena kau telah berislam, baju zirah ini untukmu."
Mendengar perkataan Ali, laki-laki itu lalu membawa baju zirahnya dengan senang.
Kendati telah dibaiat dan ditetapkan sebagai khalifah, Ali ibn Abu Thalib tidak pernah berlaku sewenang-wenang.
la selalu menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan mendelegasikan wewenang kepada orang yang tepat.
Jadilah pemimpin yang mampu bersikap bijak dan berkeadailan.[]
*Aktivis Sosial Dan Pendidik_Kota Batu
Komentar
Posting Komentar